Remaja BAIK PKBI

Dr. Ichsan Malik, M.Si

Ketua Pengurus Nasional

Pengantar

Tantangan yang sedang dihadapi oleh PKBI adalah bagaimana sebagai organisasi ia dapat menjadi organisasi yang dapat memimpin pengembangan program dan advokasi untuk Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) di Indonesia.

Remaja Sebagai Subjek Organisasi PKBI

Pada tahun 2018 akhir ketika saya terpilih sebagai Ketua Pengurus Nasional PKBI, saya agak terkejut karena harus melibatkan remaja-remaja PKBI sebagai Pengurus Nasional minimal 20% dari komposisi pengurus harus terdiri dari remaja sesuai AD/ART. Ini adalah suatu terobosan untuk Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) sejenis PKBI, yang sejak awal berdirinya memang sudah memproklamirkan dirinya sebagai pelopor keluarga berencana di Indonesia.

Melibatkan remaja sepenuhnya dalam organisasi dapat kita artikan bahwa PKBI telah mendudukkan remaja sebagai subjek organisasi, bukan sebagai objek organisasi. Sebagai objek organisasi atau sasaran program atau proyek, PKBI telah melibatkan remaja sejak tahun 1973 ketika mengadakan Pendidikan Kependudukan dan Keluarga Berencana kepada aktivis mahasiswa di Bandung serta kepada aktivis organisasi massa di Yogyakarta. Pada tahun 1985, PKBI mengembangkan program “Sahabat Remaja”. Kemudian berlanjut pada tahun 1991, PKBI mengembangkan “Sanggar Konsultasi Remaja” yang memberikan konseling bagi remaja dan oleh remaja. Pada tahun 1995, PKBI mulai mengembangkan “Gerakan Remaja Bertanggung Jawab” serta “Kelompok Remaja Bertanggung Jawab”. Pada saat itu pula pada tingkat daerah berkembang kelompok atau forum atau organisasi remaja yang dikembangkan oleh PKBI Daerah. Memposisikan remaja sebagai subjek organisasi pada hakikatnya PKBI harus dapat mempersiapkan remaja untuk siap menghadapi tantangan yang sedang dihadapi oleh organisasi serta tantangan internal yang ada pada diri remaja. Tantangan yang sedang dihadapi olehPKBI adalah bagaimana sebagai organisasi ia dapat menjadi organisasi yang dapat memimpin pengembangan program dan advokasi untuk Hak-hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi(HKSR) di Indonesia. Tantangan internal remaja terkait dengan kapasitas untuk menjadi pemimpin di organisasi, bagaimana remaja dapat menyelesaikan dilema kepastian hukum dan keadilan, serta bagaimana remaja dapat membangun karakternya sebagai remaja PKBI. Saya akan uraikan panjang lebar di bawah ini.

Tantangan Organisasi pada Pengembangan Program dan Advokasi HKSR

Isu dan tantangan strategis dari program dan organisasi PKBI terus bertransformasi sejalan dengan perubahan situasi yang terjadi di Indonesia dan pada tingkat global. Pada tahap awal kegiatannya tahun 1957-an, PKBI memusatkan perhatian kepada pentingnya perencanaan keluarga agar dapat mewujudkan keluarga yang Sehat, Bahagia, dan Sejahtera. Pada tahun 1990-an, PKBI lebih memfokuskan programnya kepada Kesehatan Reproduksi (kespro) yang lebih luas dari perencanaan keluarga atau keluarga berencana. Aspek reproduksi manusia pada periode-periode kehidupannya sebagai kesatuan sistem mulai mendapatkan perhatian. Kesehatan reproduksi pada masa dalam kandungan, masa balita, remaja, ibu muda, hingga lansia menjadi program dan bahan kajian. Pada tahun 2020-an, pusat perhatian PKBI adalah HKSR yang perspektifnya jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan dengan kespro. Seksualitas dalam perspektif PKBI berbicara tentang identitas siapa kita? Siapa yang membuat keputusan tentang tubuh kita? Bagaimana kita harus menjalankan kehidupan kita? Seksualitas adalah tentang cinta, kesenangan, dan kesejahteraan. Seksualitas juga berbicara tentang moralitas, kesetaraan, dan Kesehatan. Banyak pandangan di masyarakat yang sesat dan merusak perihal seksualitas. Terjadi banyak sekali kekerasan terkait seksualitas. Kita harus meluruskan agenda tentang seksualitas, membentuk opini, mendorong kebijakan yang adil perihal HKSR. Pada titik ini, peran remaja sangat dibutuhkan dan signifikan, mengingat mereka berada dalam pusaran permasalahan. PKBI sebagai organisasi pada hakikatnya masih menghadapi berbagai tantangan dalam melakukan perubahan sosial dan kebijakan untuk HKSR. Terjadi penolakan-penolakan dari masyarakat, terjadi berbagai kekerasan seksual berbasis gender di masyarakat, ketidakadilan yang terjadi, diskriminasi karena identitas gender, dan kebijakan yang ada masih bersifat normatif bukan substantif. Diperlukan terobosan-terobosan dalam kampanye dan advokasi untuk HKSR. Diperlukan suatu jaringan kerja yang solid untuk masa mendatang, dimana PKBI dapat memimpin jaringan kerja tersebut.

Kapasitas Kepemimpinan Remaja

Remaja PKBI selama ini masih menjadi objek dari program-program kesehatan seksual dan reproduksi. Mereka belum didorong untuk menjadi pemimpin dalam menghadapi perubahan yang sedang terjadi. Mereka harus memiliki kapasitas dalam membuat perencanaan untuk suatu perubahan. Kemampuan dasar untuk perencanaan program, pelaksanaan program, pendanaan program, serta evaluasi program, harus dimiliki oleh para remaja PKBI. Sehingga, mereka tidak selalu tergantung dari inisiatif orang dewasa yang ada di PKBI, selalu menunggu adanya proyek dari organisasi PKBI. Selain itu, untuk melakukan perubahan kebijakan, maka sejak awal remaja PKBI sudah harus dilibatkan dan memiliki kapasitas dan keterampilan untuk melakukan kampanye dan advokasi perubahan kebijakan terkait kesehatan seksual reproduksi. Peningkatan kapasitas terkait kampanye dan advokasi mutlak harus dilakukan secara berkelanjutan di PKBI. Mereka juga diharapkan untuk terus melakukan praktiknya di lapangan sehingga semakin terlatih melakukan advokasi. Terakhir adalah membangun jaringan kerja di masyarakat. Selama ini remaja PKBI agendanya masih ke dalam dirinya, belum bergerak ke masyarakat luas. Ke dalam dirinya juga masih belum tuntas apalagi ke masyarakat. Kita harus sepakat bahwa PKBI bukanlah “Superman” yang bisa menuntaskan agenda HKSR sendirian. Diperlukan jaringan kerja yang luas, heterogen, dan solid untuk mewujudkan agenda itu. Kita harus berani bergerak ke luar diri kita serta menjadi pemimpin untuk jaringan kerja yang terbentuk.

Dilema Kepastian Hukum dan Keadilan

Masih terjadi dilema kepastian hukum dan keadilan terkait dengan agenda HKSR di Indonesia. Kita masih melihat terjadinya berbagai kekerasan berbasis gender di masyarakat. Para pelakunya bebas dari hukuman, bahkan justru korban yang mendapatkan hukuman sosial dari masyarakat. Hukum hanya tajam untuk masyarakat yang ada di bawah dan marginal, tetapi tumpul untuk masyarakat yang berada di atas dan berkuasa. Dilema kepastian hukum dan keadilan ini tidak hanya terjadi pada diri remaja, tetapi juga masih terjadi pada orang-orang dewasa. Keadilan adalah konsep yang bersifat etis. Inti dari keadilan adalah distribusi hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep kesetaraan dan timbal balik (Lawrence Kohlberg dalam Lickona,T. 1976). Keadilan juga dinyatakan sebagai suatu prinsip atau nilai universal. “Bertindaklah sesuatu hanya bila kamu menghendaki semua orang seharusnya bertindak yang sama bila menghadapi situasi yang sama”. Setiap orang diharapkan dapat berorientasi kepada keadilan. Di sini tindakan individu berorientasi kepada relasi antarmanusia atas dasar kemerdekaan, kesetaraan, dan timbal balik. Remaja diharapkan dapat menyeimbangkan prinsip kepastian hukum dengan keadilan. Untuk itu diperlukan penalaran moral. Penalaran moral adalah proses berpikir, mungkin berbeda dengan perilaku yang ditampilkan. Penalaran moral adalah alasan yang dipergunakan untuk mempertimbangkan sesuatu permasalahan moral atau sosial. Kohlberg mengemukakan bahwa ada enam tahap dalam penalaran moral seseorang. Tahap pertama, tindakan yang benar adalah patuh terhadap hukuman dan menghindari kerugian. Alasan berbuat benar adalah untuk menghindari hukuman serta tunduk kepada kekuasaan, bukan atas dasar hormat kepada aturan. Tahap kedua, tindakan yang benar adalah tindakan yang bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, dan membiarkan orang lain bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Alasan berbuat benar adalah untuk memenuhi kepentingan diri sendiri dengan menyadari bahwa orang lain juga memiliki kepentingan sendiri. Tahap ketiga, tindakan yang benar adalah tingkah yang sesuai harapan orang lain dan keluarga. Alasan berbuat benar adalah kebutuhan untuk menjadi orang baik di mata diri, di mata orang lain, percaya kepada adanya aturan yang baik, serta mempunyai dorongan untuk memelihara peraturan dan otoritas. Tahap keempat, tindakan yang benar adalah sesuai dengan perjanjian yang disetujui bersama dan menjunjung tinggi hukum. Alasan berbuat benar adalah untuk mempertahankan kelangsungan lembaga secara keseluruhan, menghindari rusaknya sistem yang ada, dan memelihara ketertiban sosial. Tahap kelima, tindakan yang benar adalah tindakan yang didasarkan pada hak-hak individu yang telah diakui dalam suatu masyarakat serta sesuai aturan yang berlaku. Alasan berbuat benar adalah demi kesejahteraan umum serta untuk mempertahankan hak semua orang dan menyadari bahwa kewajiban terhadap hukum merupakan suatu kontrak sosial. Tahap keenam, tindakan yang benar adalah tindakan yang sesuai dengan prinsip etis yang dipilihnya sendiri yang bersifat universal. Alasan berbuat benar adalah untuk menegakkan prinsip moral universal yang didasarkan kepada prinsip keadilan, persamaan hak asasi manusia, dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai pribadi.

Membangun Karakter Remaja PKBI

Karakter menurut Allport (1961) adalah bentuk khusus dari kepribadian seseorang. Karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar diri dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu. Dengan demikian karakter adalah kumpulan sifat mental dan etis yang menandai seseorang. Merujuk kepada pengertian karakter tersebut maka dapat dinyatakan bahwa karakter remaja PKBI adalah segi-segi kepribadian atau sifat mental dari remaja PKBI yang disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di PKBI dan norma-norma atau hukum yang berlaku di Indonesia.

Nilai-nilai PKBI meliputi nilai kerelawanan, kepeloporan, profesional, dan kemandirian. Namun dalam bahasa atau perspektif remaja, nilai-nilai PKBI itu saya interpretasikan sebagai berikut (Bagus Takwim, 2015). Kerelawanan kita artikan sebagai gotong royong yaitu keyakinan mengenai pentingnya melakukan kegiatan secara bersama-sama dan bersifat sukarela agar kegiatan yang dikerjakan dapat berjalan dengan lancar, mudah, dan ringan. Kepeloporan kita artikan sebagai nilai kreatif yaitu keyakinan mengenai pentingnya kemampuan untuk memecahkan masalah dan mencipta sesuatu secara inovatif dan baru atau menggunakan pandangan baru. Profesional kita artikan sebagai nilai dapat dipercaya, yaitu keyakinan mengenai pentingnya perilaku bertanggung jawab, terus terang, tulus, dapat dipercaya, menolak pemalsuan fakta dari realitas, menepati janji, memegang komitmen, dan setia. Kemandirian atau nilai mandiri adalah keyakinan mengenai pentingnya mengandalkan diri sendiri, menghadapi tantangan dan menyelesaikan masalah dalam hidup, dan bisa memandu diri sendiri menjalani kehidupan. Memiliki keberanian untuk mendengar diri sendiri, mengambil inisiatif, dengan mengandalkan diri sendiri, dan berupaya mencegah ketergantungan kepada pihak lain.

Agar dapat membangun karakter remaja PKBI, maka harus dilakukan dengan cara pembentukan “Identitas Baru” yang prosesnya akan dimulai dari pengondisian, perubahan nilai, perubahan keyakinan, perubahan kompetensi yang akan membentuk identitas baru dan terwujudnya perilaku baru sesuai dengan prinsip gunung es (Ifa Hanifah Misbach, 2015).Contoh kasus, mengapa orang Indonesia tidak membuang sampah sembarangan di Singapura? Kondisi berbeda membuat pola perilaku berbeda. Kondisi Singapura menerapkan bahwa membuang sampah sembarangan akan didenda satu juta rupiah tanpa pandang bulu. Kondisi ini mengubah keyakinan orang Indonesia, “wah, rugi dong kehilangan sejuta rupiah cuma karena buang sampah.” Kondisi ini bertahan karena proses penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Nilai juga berubah dari tidak peduli kebersihan menjadi mulai belajar mencintai kebersihan. Menjadi keyakinan baru karena nilai melekat dengan keyakinan.Maka akan terbentuk kompetensi baru untuk tetap mempertahankan identitas baru sebagai orang yang mencintai kebersihan. Perubahan identitas baru akan menyebabkan terjadinya perubahan perilaku baru yang ditampilkan. Inilah yang akan menjadi karakter personal. Jika karakter personal dilakukan Bersama-sama di kelompok remaja maka akan menjadi karakter kelompok remaja PKBI, serta pada akhirnya akan menjadi identitas baru remaja PKBI. Proses pembangunan karakter remaja PKBI harus dilakukan secara partisipatif, proaktif, bukan dengan cara mobilisasi atau pencekokkan. Dilakukan secara menyenangkan, sederhana, mudah direplikasi, serta bisa dilakukan secara berulang-ulang menjadi kebiasaan.

Scroll to Top